Senin, 22 November 2010

"No Creativity No Life": Antibiotika Bisa Memicu Alergi

"No Creativity No Life": Antibiotika Bisa Memicu Alergi: "Antibiotika Bisa Memicu Alergi Selain menimbulkan efek samping, ada sejumlah orang yang mengalami reaksi alergi s..."

Antibiotika Bisa Memicu Alergi

Antibiotika Bisa Memicu Alergi

antibiotik

Selain menimbulkan efek samping, ada sejumlah orang yang mengalami reaksi alergi setelah mengonsumsi antibiotika. Kalau sebelumnya seseorang sudah tahu alergi dengan antibiotika tertentu, sudah pasti ia tidak akan diberikan antibiotika tersebut. Reaksi alergi yang ditimbulkan bisa bermacam-macam. Yang paling sering adalah gatal di kulit atau urtikaria. Yang berbahaya, apabila terjadi edema atau bengkak pada tenggorokan yang membuat seseorang seperti tercekik. Reaksi lain, ada yang mencetuskan gejala asma, seperti sesak napas. Reaksi serius lainnya adalah sindrom Steven Johnson, yang membuat seluruh permukaan kulit pasien meradang. Bahkan, kemudian timbul vesikel seperti cacar air di seluruh tubuh. Apabila kondisi ini terjadi, pasien harus segera dirawat karena situasinya sudah darurat. Namun, yang paling ekstrem adalah muncul shock anafilaktik hingga berujung pada kematian. Antibiotika golongan penisilin, disebutkan oleh Dr.J.Hudyono, MS.Sp.Ok, biasanya menimbulkan alergi. Itu sebabnya, para dokter lebih berani memberikan penisilin saat pasien berada di rumah sakit yang memiliki alat untuk kondisi gawat darurat.

Mengingat kemungkinan efek samping, termasuk reaksi alergi dan bahaya resisten, Dr.Hudyono memberikan sejumlah saran sebelum mengonsumsi antibiotika.
  1. Konsumsi antibiotika sesuai dengan yang diresepkan oleh dokter, baik untuk dosis maupun lamanya.
    Sertakan pula informasi kepada dokter jika Anda memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika.
    Jangan berinisiatif menggunakan antibiotika atas keinginan sendiri karena penyakit yang diderita saat ini belum tentu sama dengan penyakit sebelumnya.
  2. Jangan memberikan antibiotika kepada anggota keluarga lain meski kasusnya hampir sama. Antibiotika itu belum tentu cocok bagi mereka. Apalagi kalau kemudian anggota keluarga tersebut memiliki alergi yang bisa membahayakan diri mereka.
  3. Tidak meminta antibiotika kepada dokter. Ingat, antibiotika digunakan untuk infeksi bakteri dan bukan infeksi virus. Jadi, kalau sakit flu yang disebabkan oleh virus, tidak perlu antibiotika.
  4. Ubah pola berpikir bahwa penyakit apa pun apabila tidak diberi antibiotika tidak bakal sembuh. Yang benar adalah, antibiotika digunakan sesuai dengan bakteri yang menginfeksinya.

Antibiotik Kacaukan Perut Anda
Peran antibiotik yang ampuh membunuh kuman tak selalu bermanfaat bagi manusia. Karena nyatanya, mengonsumsi antibiotik juga dapat mengganggu keseimbangan mikroba baik yang hidup di dalam usus sehingga menyebabkan kondisi kesehatan menjadi tak terduga. Berdasarkan penelitian Les Dethlefsen dan David Relman dari Universitas Stanford California, AS, terhadap pasien yang diberi ciprofloxacin terungkap bahwa antibiotik yang dikonsumsi menekan semua populasi bakteri menguntungkan. Setidaknya setiap pasien memerlukan waktu berbulan-bulan untuk pulih. Penelitian yang diterbitkan jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini mendukung kebijaksanaan yang mengatakan bahwa antibiotik dapat merusak bakteri baik yang hidup di tubuh. Penelitian ini juga mendukung pentingnya pengembangan produk probiotik, termasuk yoghurt yang mengandung bakteri hidup. Dalam riset selama sekitar 10 bulan, para ahli melibatkan tiga perempuan relawan dengan memberikan tablet antibiotik. Pemberian obat dilakukan dalam dua fase dengan setiap fase berlangsung selama lima hari. Kemudian, para peneliti melakukan tes DNA pada sampel tinja dari para relawan untuk menentukan jenis mikroba yang hidup dalam usus. "Hasilnya, efek ciprofloxacin pada mikrobiota usus sungguh pesat. Selama sepekan setelah pemberian antibiotik, mereka kembali pada kondisi awal, tapi tidak sepenuhnya lengkap," kata Dethlefsen.

Hasil studi lain juga mendukung gagasan bahwa manusia dan hewan memiliki hubungan simbiosis dengan kuman. Mikroba dalam usus membantu mencerna makanan dan kuman baik dapat membuat jarak sehingga kuman buruk menjauh. "Distal usus manusia adalah salah satu ekosistem paling kompleks di planet ini," ungkap Dethlefsen. Mematikan mikroba dapat memicu obesitas dan kemungkinan alergi. Riset lain juga menemukan bahwa Lactobacillus reuteri yang ditemukan dalam ASI dapat melindungi tubuh dari infeksi rotavirus.

Beberapa studi terbaru juga menemukan bakteri tertentu menyebabkan radang yang dapat memengaruhi nafsu makan serta kondisi peradangan usus, seperti penyakit Crohn dan kolitis. Menurut Dethlefsen, membunuh populasi bakteri dalam tubuh secara teratur dapat membantu mendorong penyebaran bakteri super yang resisten terhadap obat-obatan. "Salah satu potensi percabangan yang dapat mengubah manusia adalah menambah gen yang kebal terhadap antibiotik. Setiap penggunaan antibiotik sama halnya seperti melempar dadu karena berpotensi memunculkan strain jahat yang mengganti bakteri baik," tandasnya.

Cepat atau Lambat, Bakteri Makin Kebal
Munculnya bakteri super yang resisten terhadap berbagai antibioitik paling ampuh sekalipun bukanlah hal baru dalam dunia kedokteran. Cepat atau lambat, bakteri memang akan menjadi resisten terhadap antibiotik (multiresisten) yang ada saat ini. "Tidak ada antibiotik yang sensitif (mampu bertahan lama) dalam membunuh bakteri. Para ahli mikrobiologi menganggap, antibiotik bukan merupakan cara tepat untuk menangani penyakit. Karena apabila peneliti menemukkan antibiotik untuk membunuh bakteri, tahun-tahun berikutnya bakteri akan menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada," kata Prof. Sam Soemarto dari PAMKI (Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia),  Kamis (12/08/10). Menurut Prof. Sam, pada dasarnya bakteri menjadi resisten karena banyak cara. "Pertama, memisahkan dirinya secara genetik. Kemudian dia bisa tumbuh menjadi bakteri baru yang kebal karena adanya proses mutasi dan transfer gen antibiotik ke bakteri lain," jelas Prof. Sam. Mutasi sendiri ialah terjadinya modifikasi protein, yaitu penurunan afinitas ikatan protein bakteri dengan antibiotik. Protein akan tahan terhadap kehilangan efisiensi karena mutasi tersebut.  Nantinya, mutasi genetis yang berbeda akan menghasilkan tipe resistensi yang berbeda juga.
"Beberapa mutasi mengakibatkan bakteri dapat menghasilkan zat kimia (enzim) yang cukup untuk menonaktifkan antibiotika. Hal yang sama terjadi pada bakteri super yang menghasilkan enzim NDM-1," kata Prof Sam. Selain itu, menurut Prof, Sam Soemarto, resistensi juga terjadi karena bakteri mentransfer gen antibiotik ke bakteri lain.  Bakteri bisa mendapatkan gen-gen resisten terhadap antibiotika dari bakteri lain dengan beberapa cara. Dengan melakukan proses perkawinan sederhana yang disebut “konjugasi,” bakteri dapat mentransfer materi genetik, termasuk kode-kode genetik yang resisten terhadap antibiotika (ditemukan dalam plasmids and transposons) dari satu bakteri ke bakteri yang lainnya. Bakteri yang mendapatkan gen-gen resisten, baik melalui mutasi spontan atau melalui pertukaran genetis dengan bakteri lainnya, memiliki kemampuan untuk melawan satu atau lebih jenis antibiotika. Karena bakteri dapat mengumpulkan beberapa sifat resistensi seiring dengan berjalannya waktu, mereka dapat menjadi resisten terhadap beberapa jenis antibiotika yang berbeda.

Penggunaan tidak tepat
"Resisten dari bakteri itu sendiri bisa dipercepat oleh pola pemakaian antibiotik(resep) yang dipakai dakter tidak tepat," kata Prof Sam Menurut Prof. Sam, kebanyakan resep untuk penyakit tertentu seharusnya tidak perlu menggunakan antibiotik. Misalkan resep untuk flu, yang diketahui jelas bahawa penyakit flu berasal dari virus, sehingga tidak terpengaruh oleh pemberian antibiotik. Selain itu Prof. Sam menjelaskan bakteri yang mengalami resistensi terhadap antibiotika juga disebabkan karena adanya penyalahgunaan dan penggunaan antibiotik yang dapat dibeli tanpa resep dokter. "Pasien suka minum antibiotik tertentu padahal belum tentu obat itu mengobati penyakitnya, " kata Prof. Sam. Padahal, penggunaan antibiotik yang sembarangan dapat menghasilkan jenis bakteri baru yang dapat bertahan terhadap pengobatan yang diberikan atau yang disebut dengan resistensi bakteri. Jenis bakteri baru ini memerlukan dosis yang lebih tinggi atau antibiotika yang lebih kuat untuk dapat dimusnahkan. Di sisi lain, lanjut Prof. Sam, kebiasaan pasien tidak menghabiskan antibiotik yang diberikan dokter juga berpengaruh untuk meningkatkan resistensi dari bakteri tersebut.

Kuman yang Resistan Terus Bertambah
Saat ini kuman yang resistan terhadap obat terus bertambah jenisnya sehingga menyulitkan pengobatan dan biayanya pun semakin tinggi. Demikian terungkap dalam seminar "Penggunaan Antimikroba secara Rasional" yang diselenggarakan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Senin (21/6/2010) di Jakarta. Kegiatan itu terkait Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch pada 2-4 Juli 2010. Pakar mikrobiologi klinik, Prof Agus Sjahrurachman, mengatakan, resistensi terhadap antimikroba adalah hal alami karena mikroba mengembangkan mekanisme mempertahankan diri. Namun, ulah manusia ikut mempercepat terjadinya resistensi dan penyebarannya. Kecepatan resistensi tidak seimbang dengan laju penemuan obat antimikroba baru. Akibatnya, penanganan penyakit semakin sulit dan biayanya pun meningkat. Beberapa contoh kuman yang resistan antara lain Salmonella typhi yang resistan terhadap chloramphenico dan Streptococcus pneumonia terhadap makrolida baru. Mycobacterium tuberculosis yang tadinya resistan rendah terhadap INH tingkat resistensinya semakin tinggi. Bahkan, ada kasus kuman yang resistan terhadap banyak obat, contohnya Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang resistan pada Methicillin, Staphylococcus aureus resistan pada Vancomycin.
"Bakteri resistan itu justru banyak di rumah sakit, terutama di ruang rawat intensif, karena kegiatan pengobatan. Kuman-kuman resistan di rumah sakit itu bisa terbawa ke luar rumah sakit, kemudian menyebar," ujarnya. Selain itu, penggunaan antibiotik sembarangan, putus obat, lemahnya pengendalian infeksi di rumah sakit, promosi obat-obatan yang berakibat penggunaan terlalu masif, dan ketidaktepatan penanganan pasien juga mendorong percepatan resistansi. Ahli penyakit dalam dari FKUI, Prof Djoko Widodo, mengungkapkan, resistansi terhadap antibiotik menjadi masalah yang terus meningkat. Guna mengendalikan resistansi itu, setiap rumah sakit seharusnya mempunyai peta kuman dengan pemeriksaan. Dengan peta kuman, diketahui kuman yang telah resistan dan pengendaliannya. Ini termasuk penatalaksanaan oleh dokter terhadap pasien. Dokter spesialis mikrobiologi klinik, Anis Karuniawati, mengatakan, dengan adanya data hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik yang akurat, dapat disusun suatu kebijakan pemilihan antibiotik sesuai pola mikroba dan pola resistensi di rumah sakit.

(Sumber : kompashealth)
http://www.ikatanapotekerindonesia.net/berita-farmasi/22-berita-farmasi/1635-antibiotika-bisa-memicu-alergi.html

Masyarakat Harus Lebih Kritis Meminta Resep

Masyarakat Harus Lebih Kritis Meminta Resep

masyarakat_kritisIndra pendengaran Akbar Mulya, karyawan perusahaan swasta di bilangan Jakarta Pusat, masih belum normal meski sudah berobat ke dokter spesialis di sebuah rumah sakit swasta. Keputusannya berobat ke dokter spesialis ingin infeksi telinga yang dideritanya bisa cepat sembuh. Segala jenis obat yang diresepkan dokter dia tebus di apotek dengan harga yang cukup mahal.

Setidaknya ada tiga jenis obat antivirus yang harus ditebus dengan kocek sekitar 260 ribu rupiah untuk tiga jenis. Obat-obat tersebut memang cukup ampuh untuk meredakan rasa nyeri di telinganya. Tapi selang tiga hari setelah semua obat habis, rasa nyeri di telinganya kembali kambuh.

Akbar ingat kalau dokter pernah menyarankan untuk kontrol lagi apabila obat sudah habis. Karena masalah keuangan, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah sakit pemerintah dengan harapan biaya pengobatan akan lebih murah. Memang benar, meski hasil diagnosis gangguan pendengaran yang sama, pengobatan di rumah sakit pemerintah lebih murah.

Obat infeksi telinga yang harus ditebus di apotek tertera keterangan “obat generik”, sebuah obat yang lekat untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Untuk dua jenis obat ditebus tidak sampai 50 ribu rupiah. Ternyata Akbar merasakan khasiat yang sama ampuhnya dengan resep dokter yang pernah diberikan di rumah sakit swasta.

Rasa nyeri di teliganya mereda dan cenderung lebih membaik. Tapi yang masih jadi pertanyaan Akbar, mengapa perbedaan harga obat untuk menyembuhkan penyakit yang sama sangat jauh berbeda. “Saya tidak habis pikir, harga obat untuk penyakit yang sama, tapi perbedaannya sangat jauh,” katanya. Tidak Transparan Apa yang dialami Akbar mungkin dialami oleh pasienpasien lainya.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada pasien yang harus menebus obat di apotek dengan harga tidak rasional karena pihak apoteker terlalu saklek dengan resep dokter. “Harga obat di negeri ini memang kurang transparan,” kata Ketua Jurusan Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Iwan Dwiprahasto. Padahal, kata Iwan, soal harga obat sejatinya seperti harga mi yang dijual di pasar swalayan.

Ada banyak pilihan harga antara produk satu dengan lainya. Begitu pula obat, semisal amoksisilin sebenarnya ada banyak pilihan bagi masyarakat. Sayangnya, yang mengetahui hal tersebut hanya kalangan terbatas saja, semisal apoteker. Kebanyakan dokter pun tidak mengetahui atau menghafal harga obat (khususnya obat paten) yang diresepkan.

Oleh sebab itu, peran apoteker sangat dibutuhkan dalam memberikan advokasi dan edukasi terhadap masyarakat. Pihak apoteker sebenarnya harus menjelaskan obat yang telah diresepkan dokter. Misalnya, adanya pilihan harga untuk obat yang memiliki komponen kimia sama. “Kalau pun setelah diberikan pilihan harga tersebut, pasien lebih memilih yang lebih mahal karena yakin lebih ampuh kasiatnya, maka sudah lepas tanggung jawab apoteker itu,” kata Iwan.

Apotek-apotek di Indonesia, Menurut Deputi Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Nunut Rubiyanto, sebenarnya sangat terbuka dalam menjual obat kepada masyarakat. Pasalnya, berdasarkan PP No 51 Tahun 2009, apoteker berhak mengganti obat kalau ada persetujuan dari pasien atau dokter. Namun, kalau pasien tidak meminta mengganti resep, maka akan diberikan resep yang diberikan dokter.

“Oleh sebab itu, masyarakat harus lebih kritis ketika mendapatkan obat dari dokter. Kalau perlu, bila ingin murah, maka minta diresepkan obat generik saja. Setelah di apotek, maka meminta lagi pilihan harga obat yang paling murah tapi memiliki komposisi kimia sama,” kata Nunut. Iwan menambahkan sekarang ini sudah seharusnya masyarakat memiliki asuransi kesehatan.

Tujuannya, agar masyarakat mendapatkan harga paling murah ketika menebus obat. Sebab yang melakukan proses tawar-menawar harga obat adalah pihak asuransi. Berbeda ketika masyarakat masih mengandalkan pembayaran langsung, maka pihak industri farmasi akan memiliki peran besar memainkan harga.

(Sumber : koran-jakarta)
http://www.ikatanapotekerindonesia.net/berita-farmasi/22-berita-farmasi/1647-masyarakat-harus-lebih-kritis-meminta-resep.html