Masyarakat Harus Lebih Kritis Meminta Resep
Indra pendengaran Akbar Mulya, karyawan perusahaan swasta di bilangan Jakarta Pusat, masih belum normal meski sudah berobat ke dokter spesialis di sebuah rumah sakit swasta. Keputusannya berobat ke dokter spesialis ingin infeksi telinga yang dideritanya bisa cepat sembuh. Segala jenis obat yang diresepkan dokter dia tebus di apotek dengan harga yang cukup mahal.
Setidaknya ada tiga jenis obat antivirus yang harus ditebus dengan kocek sekitar 260 ribu rupiah untuk tiga jenis. Obat-obat tersebut memang cukup ampuh untuk meredakan rasa nyeri di telinganya. Tapi selang tiga hari setelah semua obat habis, rasa nyeri di telinganya kembali kambuh.
Akbar ingat kalau dokter pernah menyarankan untuk kontrol lagi apabila obat sudah habis. Karena masalah keuangan, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah sakit pemerintah dengan harapan biaya pengobatan akan lebih murah. Memang benar, meski hasil diagnosis gangguan pendengaran yang sama, pengobatan di rumah sakit pemerintah lebih murah.
Obat infeksi telinga yang harus ditebus di apotek tertera keterangan “obat generik”, sebuah obat yang lekat untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Untuk dua jenis obat ditebus tidak sampai 50 ribu rupiah. Ternyata Akbar merasakan khasiat yang sama ampuhnya dengan resep dokter yang pernah diberikan di rumah sakit swasta.
Rasa nyeri di teliganya mereda dan cenderung lebih membaik. Tapi yang masih jadi pertanyaan Akbar, mengapa perbedaan harga obat untuk menyembuhkan penyakit yang sama sangat jauh berbeda. “Saya tidak habis pikir, harga obat untuk penyakit yang sama, tapi perbedaannya sangat jauh,” katanya. Tidak Transparan Apa yang dialami Akbar mungkin dialami oleh pasienpasien lainya.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada pasien yang harus menebus obat di apotek dengan harga tidak rasional karena pihak apoteker terlalu saklek dengan resep dokter. “Harga obat di negeri ini memang kurang transparan,” kata Ketua Jurusan Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Iwan Dwiprahasto. Padahal, kata Iwan, soal harga obat sejatinya seperti harga mi yang dijual di pasar swalayan.
Ada banyak pilihan harga antara produk satu dengan lainya. Begitu pula obat, semisal amoksisilin sebenarnya ada banyak pilihan bagi masyarakat. Sayangnya, yang mengetahui hal tersebut hanya kalangan terbatas saja, semisal apoteker. Kebanyakan dokter pun tidak mengetahui atau menghafal harga obat (khususnya obat paten) yang diresepkan.
Oleh sebab itu, peran apoteker sangat dibutuhkan dalam memberikan advokasi dan edukasi terhadap masyarakat. Pihak apoteker sebenarnya harus menjelaskan obat yang telah diresepkan dokter. Misalnya, adanya pilihan harga untuk obat yang memiliki komponen kimia sama. “Kalau pun setelah diberikan pilihan harga tersebut, pasien lebih memilih yang lebih mahal karena yakin lebih ampuh kasiatnya, maka sudah lepas tanggung jawab apoteker itu,” kata Iwan.
Apotek-apotek di Indonesia, Menurut Deputi Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Nunut Rubiyanto, sebenarnya sangat terbuka dalam menjual obat kepada masyarakat. Pasalnya, berdasarkan PP No 51 Tahun 2009, apoteker berhak mengganti obat kalau ada persetujuan dari pasien atau dokter. Namun, kalau pasien tidak meminta mengganti resep, maka akan diberikan resep yang diberikan dokter.
“Oleh sebab itu, masyarakat harus lebih kritis ketika mendapatkan obat dari dokter. Kalau perlu, bila ingin murah, maka minta diresepkan obat generik saja. Setelah di apotek, maka meminta lagi pilihan harga obat yang paling murah tapi memiliki komposisi kimia sama,” kata Nunut. Iwan menambahkan sekarang ini sudah seharusnya masyarakat memiliki asuransi kesehatan.
Tujuannya, agar masyarakat mendapatkan harga paling murah ketika menebus obat. Sebab yang melakukan proses tawar-menawar harga obat adalah pihak asuransi. Berbeda ketika masyarakat masih mengandalkan pembayaran langsung, maka pihak industri farmasi akan memiliki peran besar memainkan harga.
(Sumber : koran-jakarta)
http://www.ikatanapotekerindonesia.net/berita-farmasi/22-berita-farmasi/1647-masyarakat-harus-lebih-kritis-meminta-resep.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar